Hasil untuk category "PPh Pasal 21"

Gaji Pegawai Tidak Ada yang Melebihi PTKP, Perusahaan Tetap Harus Lapor SPT Masa PPh Pasal 21/26

Bagi perusahaan yang baru berkembang atau masih tergolong dalam skala kecil, seringkali kemampuan finansial untuk memberikan gaji kepada karyawan masih terbatas. Dalam situasi ini, tidak jarang gaji yang diberikan kepada pegawai berada di bawah batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Namun, apakah dengan kondisi tersebut perusahaan terbebas dari kewajiban perpajakan, khususnya terkait pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26?

Perlu dipahami bahwa status gaji pegawai yang berada di bawah PTKP tidak menghilangkan kewajiban perusahaan sebagai pemotong pajak untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26. Meskipun nilai pajak yang dipotong adalah nihil karena penghasilan pegawai masih di bawah PTKP, perusahaan tetap memiliki kewajiban untuk melakukan pelaporan.

Kewajiban ini berlaku selama perusahaan memberikan penghasilan kepada pegawai, terlepas dari besar kecilnya jumlah penghasilan tersebut. Hal ini merupakan bagian dari prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam administrasi perpajakan, di mana setiap transaksi pemberian penghasilan harus tercatat dan dilaporkan dengan baik.

Kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 meskipun gaji pegawai di bawah PTKP diatur secara jelas dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168/2023, khususnya pada Pasal 20.

Dalam Pasal 20 ayat (1) PMK 168/2023 disebutkan bahwa Pemotong Pajak wajib "menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan yang terutang untuk setiap Masa Pajak."

Selanjutnya, dalam ayat (3) dari pasal yang sama ditekankan bahwa "Ketentuan mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku dalam hal terdapat penghasilan yang diberikan, termasuk apabila jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil."

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tersebut, perusahaan tidak dapat mengabaikan kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 meskipun seluruh pegawainya memiliki penghasilan di bawah PTKP dan tidak ada pajak yang dipotong (nihil).

Kapan Perusahaan Tidak Wajib Melaporkan?

Meski demikian, PMK 168/2023 juga memberikan pengecualian terkait kewajiban pelaporan ini. Dalam Pasal 20 ayat (4) disebutkan bahwa "Dalam hal tidak terdapat pemberian penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi pada bulan yang bersangkutan, ketentuan mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku."

Dengan kata lain, perusahaan hanya dibebaskan dari kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 apabila pada bulan yang bersangkutan sama sekali tidak ada aktivitas pemberian penghasilan kepada pegawai atau pihak lain yang terkait dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.

Disclaimer: Artikel ini disusun untuk tujuan informasi dan edukasi. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional sebelum mengambil keputusan terkait perpajakan berdasarkan informasi dalam artikel ini.

...

Apakah penghasilan direktur CV harus dimasukkan ke SPT Masa PPh Pasal 21 dan boleh dibiayakan secara fiskal?

Perseroan Komanditer (CV) merupakan salah satu bentuk badan usaha yang umum dipilih oleh para pelaku usaha. Namun, di balik kesederhanaannya, terdapat berbagai aspek perpajakan yang perlu dipahami dengan cermat, khususnya terkait perlakuan perpajakan atas penghasilan direktur CV.

Salah satu pertanyaan yang sering muncul dalam konteks perpajakan CV adalah mengenai penghasilan yang diterima oleh direktur CV. Apakah penghasilan tersebut harus dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21? Bagaimana perlakuan pajaknya? Dan apakah penghasilan tersebut dapat diakui sebagai biaya yang dapat dikurangkan secara fiskal oleh CV?

Ilustrasi:

Berikut adalah contoh permasalahan yang sering dihadapi oleh pelaku usaha berbentuk CV:

Tuan Anton adalah direktur sekaligus salah satu pendiri CV Maju Bersama. Sebagai direktur, Tuan Anton menerima penghasilan dari CV dalam dua bentuk:

  1. Pembagian laba usaha CV Maju Bersama
  2. Gaji bulanan sebagai direktur CV

Pertanyaannya:

  1. Apakah penghasilan Tuan Anton tersebut harus dimasukkan ke dalam SPT Masa PPh Pasal 21?
  2. Apakah gaji yang dibayarkan kepada Tuan Anton dapat dibiayakan secara fiskal oleh CV Maju Bersama?

1. Penghasilan dalam Bentuk Bagian Laba CV

Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf i Undang-Undang Pajak Penghasilan:

"Yang dikecualikan dari objek pajak adalah: bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima atau diperoleh anggota dari koperasi, perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;"

Berdasarkan ketentuan tersebut, penghasilan Tuan Anton yang berupa bagian laba dari CV Maju Bersama bukan merupakan objek pajak penghasilan. Konsekuensinya, penghasilan tersebut:

  • Tidak perlu dimasukkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21
  • Tidak perlu dilaporkan sebagai penghasilan kena pajak dalam SPT Tahunan Tuan Anton
  • Tidak dikenakan pemotongan pajak oleh CV Maju Bersama
  • Tetap dimasukkan dalam Penghasilan Bukan Objek Pajak dalam SPT Tahunan Tuan Anton

2. Penghasilan dalam Bentuk Gaji Direktur CV

Sementara itu, untuk penghasilan dalam bentuk gaji, berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf j Undang-Undang Pajak Penghasilan:

"Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan: gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;"

Berdasarkan ketentuan tersebut, gaji yang dibayarkan kepada Tuan Anton sebagai direktur CV Maju Bersama tidak dapat dikurangkan sebagai biaya secara fiskal oleh CV. Implikasinya:

  • CV Maju Bersama harus melakukan koreksi fiskal positif atas biaya gaji yang dibayarkan kepada Tuan Anton
  • Penghasilan gaji Tuan Anton sebagai direktur CV perlu dimasukkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21
  • Tetap terdapat kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 atas gaji direktur CV

Perbedaan dengan Perlakuan Perpajakan pada PT (Perseroan Terbatas)

Penting untuk membandingkan perlakuan perpajakan ini dengan perusahaan berbentuk PT (Perseroan Terbatas), dimana:

  1. Gaji direktur PT merupakan objek PPh Pasal 21 dan harus dipotong oleh PT
  2. Gaji direktur PT dapat diakui sebagai biaya yang dapat dikurangkan secara fiskal
  3. Gaji direktu CV merupakan objek PPh Pasal 21 dan harus dipotong oleh PT
  4. Gaji direktur CV tidak dapat diakui sebagai biaya yang dapat dikurangkan secara fiskal
  5. Dividen yang dibagikan kepada pemegang saham PT merupakan objek pajak penghasilan (dapat menjadi bukan objek pajak dengan syarat tertentu)
  6. Dividen yang dibagikan kepada pemegang saham CV bukan objek pajak penghasilan

Perbedaan ini menunjukkan pentingnya memahami karakteristik badan usaha dan implikasi perpajakannya dalam perencanaan perpajakan.

Implikasi Praktis bagi Pelaku Usaha CV

Berdasarkan analisis di atas, terdapat beberapa implikasi praktis yang perlu diperhatikan oleh pelaku usaha CV:

  1. Perencanaan Penghematan Pajak: Pembagian laba CV tidak dikenakan pajak penghasilan bagi penerimanya, sehingga memberikan potensi penghematan pajak dibandingkan dengan pembagian dividen pada PT yang dikenakan pajak.
  2. Dokumentasi: Pastikan dokumentasi yang jelas antara pembagian laba dan pembayaran gaji untuk menghindari kesalahan dalam perlakuan perpajakan.
  3. Koreksi Fiskal: CV harus melakukan koreksi fiskal positif atas gaji yang dibayarkan kepada direktur dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
  4. Pertimbangan Pemilihan Bentuk Badan Usaha: Aspek perpajakan ini menjadi salah satu pertimbangan dalam memilih bentuk badan usaha yang tepat sesuai dengan kebutuhan bisnis.

Kesimpulan

Berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku, penghasilan direktur CV perlu diperlakukan secara khusus dalam aspek perpajakan:

  1. Penghasilan dalam bentuk bagian laba CV bukan merupakan objek pajak penghasilan, sehingga tidak perlu dimasukkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21.
  2. Penghasilan dalam bentuk gaji direktur CV tidak dapat dibiayakan secara fiskal oleh CV dan harus dilakukan koreksi fiskal positif. Gaji tersebut juga tetap perlu dimasukkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21.

Setiap pelaku usaha disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional untuk mendapatkan panduan yang lebih spesifik sesuai dengan kondisi usahanya masing-masing.

Disclaimer: Artikel ini disusun untuk tujuan informasi dan edukasi. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional sebelum mengambil keputusan terkait perpajakan berdasarkan informasi dalam artikel ini.

...

Aturan Terbaru Pajak Natura

 

Sejak diterbitkannya PP 55/2022, natura menjadi bahasan utama yang tak henti-hentinya dibicarakan oleh wajib pajak. Pasalnya, aturan pajak natura sebelumnya ditegaskan dalam UU HPP menjadi yang dikecualikan dari objek pajak. Namun kemudian, aturan tersebut berubah sejak diterbitkannya PP 55/2023 yang mana dalam peraturan tersebut, tepatnya di Pasal 23 ayat 1 disebutkan bahwa natura menjadi objek pajak penghasilan. 

        “Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan objek Pajak Penghasilan...” 

Hal ini tentu menjadi topik utama di setiap perbincangan perpajakan. Mengapa? Karena belum adanya kepastian tentang aturan lanjutan mengenai hal tersebut serta bagaimana batasan-batasan perlakuan pajaknya. 

Akhirnya, pada 27 Juni 2023 lalu, pemerintah resmi menerbitkan regulasi baru terkait teknis pelaksanaan pajak natura. Aturan tersebut tertuang dalam PMK 66/2023 yang diberlakukan mulai 1 Juli 2023. Hal ini menjawab sudah pertanyaan-pertanyaan wajib pajak tentang perlakuan serta teknis pelaksanaan, terutama bagi pegawai yang bekerja pada perusahaan.

Ditegaskan kembali dalam PMK 66/2023, bahwa natura dan/atau kenikmataan telah menjadi objek pajak penghasilan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat 1 yang berbunyi:

       “Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan penghasilan yang menjadi objek Pajak Penghasilan....

Definisi natura sendiri merupakan penggantian atau imbalan dalam bentuk barang selain uang yang dialihkan kepemilikannya dari pemberi kepada penerima. Barang yang dialihkan tersebut dinilai berdasarkan nilai pasar.

Sedangkan kenikmatan merupakan peggantian atau imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan yang bersumber dari aktiva (pemberi imbalan/pihak ketiga yang disewa atau dibiayai pemberi).

 

Batasan Yang Dikecualikan Dari Objek Pajak 

Dalam PMK 66/202, terdapat beberapa syarat batasan yang dikecualikan dari objek pajak yakni:

 

Objek PajakBatasan
Makanan/minuman disediakan di tempat kerja bagi seluruh PegawaiTanpa batasan nilai
Peralatan dan fasilitas kerja seperti komputer, laptop, pulsa, dll.Diterima/diperoleh pegawai
Kupon makanan/minumanMaks Rp2 juta/bulan
Fasilitas tempat tinggal bersifat individual seperti apartemen atau rumah tapakDiterima/diperoleh pegawai
Fasilitas tempat tinggal yang bersifat komunal seperti mes, asrama, dsb.Diterima/diperoleh pegawai
Fasiltas di daerah tertentu termasuk tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, dllTanpa batasan nilai
Fasilitas olahraga golf, acuan kuda, balap perahu bermotor, terbang layang dan olahrga otomotifMaks Rp1,5 juta/tahun
Bingkisan/parcel dalam rangka hari besar keagamaan Diterima/diperoleh pegawai
Bingkisan/parcel selain dalam rangka hari besar keagamaan Maks Rp3 juta//tahun
Fasiias pelayanan kesehatan dan pengobatan dar pemberi kerjaDiterima/diperoleh pegawai
Fasilitas kendaraan
  1. Tidak memiliki penyerataan modal pada pemberi kerja
  2. Maks penghasilan bruto Rp100 juta/bulan
Fasilitas iuran dana pensiunDiterima/diperoleh pegawai
Fasilitas peribadatan seperti mushala, masjid, pura, dsb.Diperuntukkan semata-mata untuk peribadatan
Fasilitas terkait standar keamanan, kesehatan dan keselamatan kerjaTanpa batasan nilai
Seluruh natura dan/atau kenikmatan yang diterima tahun 2022Diterima/diperoleh pegawai

 

Dengan berlakunya PMK 66/2023 ini, maka batasan-batasan objek natura menjadi semakin jelas. Adapun yang memiliki batasan tertentu maka penentuan pajak natura dihitung dari selisih lebih dari nilai yang diperoleh penerima setelah dikurangi dengan batasan tertentu sesuai dengan tabel diatas. 

 

Contoh:

Pada bulan September 2023, PT A memberikan fasilitas apartemen kepada Karina selaku pegawainya. Apartemen tersebut disewa PT A dari pihak ketiga secara bulanan. Selama bulan September 2023, biaya-biaya terkait fasilitas apartemen tersebut yang dikeluarkan PT JC terdiri dari:

  1. Biaya sewa apartemen          : Rp12.000.000
  2. Biaya pemeliharaan               : Rp1.000.000
  3. Biaya utilitas                          : Rp500.000
  4. Total biaya                             : Rp13.500.000

Diketahui bahwa kenikmatan dengan jenis dan batasan tertentu berupa fasilitas tempat tinggal dengan hak penggunaan dipegang oleh perseorangan (individual) antara lain berbentuk apartemen dikecualikan dari objek Pajak sepanjang nilainya tidak lebih dari Rp2.000.000 dalam satu bulan. 

Oleh karena itu, penghasilan berupa penggantian atau imbalan dalam bentuk kenikmatan berupa fasilitas apartemen yang diterima Karina pada bulan September 2023 yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 21 sebesar Rp13.500.000 - Rp2.000.000 = Rp11.500.000.

 

 

Referensi

UU Harmonisasi Perpajakan Tahun 2021

PP 55 Tahun 2022

PMK 66 Tahun 2023

...

Pajak atas komisi atau fee yang diterima oleh agen travel umroh

Komisi atau fee yang diterima oleh agen (orang pribadi dalam negeri) dari travel umroh merupakan objek pajak penghasilan Pasal 21. Umumnya sistem kerja agen yaitu memasarkan produk maupun jasa yang disediakan oleh pihak travel untuk menarik perhatian calon jamaah umroh. Jika agen berhasil membawa atau mendaftarkan jamaah umroh, maka pihak travel umroh akan memberikan komisi atau fee untuk agen. Atas transaksi pemberian komisi dari pihak travel umroh kepada agen orang pribadi tersebut merupakan objek PPh Pasal 21. Sehingga pihak travel umroh harus melakukan pemotongan pajak sebelum melakukan pembayaran kepada agen.

Berdasarkan pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, “Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;”

Berdasarkan pasal 5 ayat (1) huruf e Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-16/PJ/2016, “Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 … adalah imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan jasa yang dilakukan;”

Dasar Pengenaan dan Pemotongan

Berdasarkan pasal 9 ayat (1) huruf c Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-16/PJ/2016, Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut: 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan;

Berdasarkan pasal 13, Penerima penghasilan Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya

Untuk dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penerima penghasilan Bukan Pegawai harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi wanita kawin harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat nikah dan kartu keluarga.

Tarif Pemotongan Pajak

Berdasarkan pasal 16, Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dari: 

ayat (1) Penghasilan Kena Pajak, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan, yang diterima atau diperoleh Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1). 

ayat (2) 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang bersifat berkesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)

Adapun tarif Lapisan Penghasilan Kena Pajak pasal 17 ayat (1) sebagaimana diubah terakhir adalah sebagai berikut:

  • Tarif 5% sampai dengan Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
  • Tarif 15% di atas Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
  • Tarif 25% di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
  • Tarif 30% di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
  • Tarif 35% di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

Contoh Kasus:

Budi adalah seorang agen dari PT Travel Umroh sejak awal tahun 2023. Selama bulan januari - oktober 2023, budi sudah mendapatkan komisi/fee sebesar 20 juta rupiah. Pada bulan november 2023 berhasil mendaftarkan 5 jamaah umroh ke PT Travel Umroh. Setiap jamaah yang didaftarkan, PT Travel Umroh akan memberikan komisi/fee sebesar  1juta rupiah. Diketahui budi memiliki penghasilan lain selain dari PT Travel Umroh. Berapakah pajak yang harus dipotong oleh PT Travel Umroh atas penghasilan budi bulan november?

Jawab: Karena budi memiliki penghasilan lebih dari 1 pemberi kerja, maka dalam perhitungan pajak tidak memperoleh pengurang berupa PTKP.

Penghasilan = 5 juta (1juta x 5 jamaah)

DPP = 50% x 5 juta

Penghasilan kena pajak = 2,5 juta

Pajak yang harus dipotong PT Travel Umroh = 2,5 juta x 5% = 125 ribu

 

Dasar Hukum:

  • UU Pajak Penghasilan
  • PER-16/PJ/2016
...

Hadiah untuk customer apakah harus dipotong pajak?

Perusahaan kami mengadakan promo untuk pembelian unit rumah, setiap customer akan mendapatkan hadiah handphone. Pertanyaan saya, apakah atas hadiah tersebut kami harus memotong pajak? (Pertanyaan di FGD)

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-11/PJ/2015 Tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Hadiah dan Penghargaan, 

(1) Atas hadiah undian dipotong Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah penghasilan bruto dan bersifat final oleh penyelenggara undian.

(2) Atas hadiah atau penghargaan perlombaan, hadiah sehubungan kegiatan, dan penghargaan dikenakan Pajak penghasilan dengan ketentuan sebagai berikut:

   a. dalam hal penerima penghasilan adalah orang pribadi Wajib Pajak dalam negeri, dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar tarif Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dari jumlah penghasilan bruto;

   b. dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap, dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto dengan memperhatikan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku;

   c. dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak badan termasuk Bentuk Usaha Tetap, dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008, sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah penghasilan bruto.

Berdasarkan pasal 4 ayat (1) PER-11/PJ/2015, Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak berlaku untuk hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa. 

(2) Hadiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan objek Pajak Penghasilan yang wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Wajib Pajak yang bersangkutan.

Menurut dasar hukum diatas, apabila perusahaan saudara memberikan hadiah (handphone) kepada setiap customer (tanpa pengecualian) atas pembelian yang dilakukan oleh customer sebagaimana tertuang dalam pasal 4 ayat (1) PER-11/PJ/2015 diatas, atas hadiah tersebut tidak dipotong pajak. Namun customer penerima hadiah tetap harus melaporkan dalam SPT Tahunannya karena hadiah tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan.

 

Dasar Hukum:

  • PER-11/PJ/2015

 

...

Penghasilan ceramah ustadz tetap harus dipotong pajak

Min. apakah perusahaan perlu memotong pajak penghasilan ustadz yang memberikan ceramah. Misal mau di kasih 2 Juta ?

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 21 ayat 1 huruf a “Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh: pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;”

Besarnya tarif yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 17 ayat 1 huruf a untuk wajib pajak orang dalam negeri yang memiliki penghasilan sampai dengan Rp50.000.000 adalah sebesar 5%. Jika ustadz tersebut merupakan bukan pegawai, maka dasar perhitungan penghasilannya menjadi 50% dari penghasilan atau peredaran bruto sebagaimana diatur dalam PER-16/PJ/2016 Pasal 9 ayat 1 (c) sehingga formula perhitungannya menjadi sebagai berikut:

50% x Penghasilan bruto x 5%

Misal PT XYZ akan membayar ustadz sebesar 2 Juta untuk ceramah. Maka 2 Juta itu merupakan objek PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh perusahaan. Perhitungan nilai yang harus dipotong adalah sebagai berikut:

50% x 2.000.000 x 5% = 50.000

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
  • PER-16/PJ/2016
...